Interpretasi al-Qur'an merupakan tugas yang tak kenal henti. Sebab, derajat pemahaman manusia itu relatif, sehingga akhir dari pergulatan pemahaman atas pesan Tuhan itu selalu tidak sama dari waktu ke waktu. Ia sangat variatif serta selaras dengan realitas, kondisi sosial, dan kebutuhan umat sebagai konsumennya. Model interpretasi pun selalu hidup sejak kemunculannya sampai era kontemporer.
Salah satu model interpretasi al-Qur'an kontemporer adalah interpretasi sastra, yakni mendekati al-Qur'an sebagai teks. Metode tafsir sastra ini mengalami eskalasi perkembangan yang cukup mapan. Jargon yang diusung ialah membiarkan al-Qur'an berbicara dengan dan melalui dirinya sendiri. Tujuannya, agar diperoleh pemahaman yang jauh dari tarikan-tarikan kepentingan individual dan ideologis.
Tetapi, dalam konteks pembaruan pemikiran, tawaran metodologis tafsir sastra itu ternyata menghadapi problem serius. Tesis yang dikedepankan bahwa al-Qur'an adalah teks sastra Arab yang paling agung memicu perkelahian intelektual yang sangat intens tentang tekstualitas al-Qur'an, terutama di Mesir modern. Apakah pemikiran-pemikiran tersebut merupakan produk “baru yang liar” dan keluar dari tradisi keislaman klasik, atau justru sebaliknya?
Pertanyaan itulah yang coba digali secara radikal dalam seluruh bagian buku di tangan Anda ini. Ia mencari akar-akar pemikiran dalam tradisi turats yang dapat dijadikan pegangan bahwa pemikiran “liberal” dalam Islam bukanlah “anak tiri”, melainkan “anak kandung” sejarah Islam yang harus tetap dikampanyekan.