Secara fisik, Ka’bah bukanlah bangunan yang layak dikagumi. Ia bukanlah Tembok Cina yang kokoh berdiri sepanjang 5.760 km atau tatanan batu Piramida di Mesir yang tegak menjulang setinggi 148 meter lebih dari seribu tahun sebelum Masehi. Ka’bah juga bukan Taj Mahal yang memamerkan keindahan arsitektur dan dibangun untuk sebuah kesetiaan cinta. Ka’bah bukanlah bangunan prestisius laksana Burj Khalifa yang mendaulat dirinya sebagai bangunan tertinggi di dunia sepanjang sejarah manusia, yakni 828 meter! Ka’bah hanya berupa susunan batu-batu berbentuk kubus yang tampak sangat biasa dan kita tidak akan menemukan cita rasa artistik dalam kerangka bangunannya. Meski demikian, Ka’bah tetap memiliki daya magnit yang sangat kuat dan senantiasa dikunjungi sebagai kiblat dan pusat peribadatan kaum muslimin.
Di dalam al-Qur’an, kata Ka’bah disebut sebanyak dua kali, yakni pada ayat ke-95 dan 97 dalam surah Al-Mâ’idah. Dalam dua ayat tersebut al-Qur’an menjelaskan peran penting Ka’bah sebagai pusat peribadatan sekaligus posisinya sebagai titik sentral ritual keagamaan masa lalu bangsa Arab. Di depan Ka’bahlah semua persembahan (hadyu) dipotong, di hadapan Ka’bahlah bangsa Arab bermunajat dan mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Posisi sentral ini senantiasa terjaga hingga sekarang sebab Ka’bah didaulat sebagai kiblat shalat sekaligus tujuan utama manasik haji bagi umat Islam. Letak strategis Ka’bah yang berada di kota Mekah (sebuah kota persinggahan pada masa lalu yang tak pernah “kering” karena mata air Zam-zamnya) membuat Ka’bah semakin dikenal tidak hanya oleh orang Arab tetapi juga oleh bangsa-bangsa non-Arab yang bertetangga dengan mereka. Tak heran jika pada abad ke-7 Masehi Abraha, penguasa negeri Yaman sekaligus penganut setia agama Kristen, pernah berusaha untuk menghancurkan Ka’bah dan mengalihkan perhatian keagamaan bangsa Arab ke gereja Qullaish yang ia bangun sangat megah di negeri Yaman.
Tak terhitung sudah berapa banyak orang yang menangis ketika melihat Ka’bah untuk pertama kali. Sangat banyak. Hampir semua orang yang menunaikan ibadah haji mendapatkan impresi yang sama ketika melihat Ka’bah. Dan mereka menangis. Atau mungkin tidak menangis, tetapi ada sesuatu yang meresap dalam hati dan jiwa mereka. Seperti ada kekuatan magis yang merayap dalam diri dan membentuk gugusan perasaan yang terkadang tak bisa mereka mengerti. Sebuah luapan emosi yang menggumpal karena berbagai perasaan: haru, senang, bahagia, tak percaya, dan lain sebagainya. Maka tak heran jika emosi itu seringkali tumpah ruah dalam sebentuk tangis atau ucapan ketakjuban yang pendek tapi mendalam, subhanallah!