Rasulullah saw. hidup berbaur dengan para sahabat, mengobrol, bahkan bercanda dengan mereka. Bukan hanya dengan mereka, melainkan juga dengan anak-anak mereka. Di antara canda beliau adalah ketika memanggil pembantunya, Anas r.a. , “Wahai yang punya dua telinga!” dan Anas senang sekali dengan panggilan itu, sebagaimana yang akan kita nikmati kelengkapan kisah itu dalam buku ini. Aisyah r.a. bercerita: Ketika Rasulullah tampak sedang rileks, aku bilang, ‘Ya Rasulullah! Doakan aku kepada Allah!” Beliau pun berdoa, “Ya Allah! Ampunilah untuk Aisyah dosa-dosanya yang lama dan yang baru, yang terang dan yang samar.” Mendengar doa itu, Aisyah r.a. tertawa terpingkal-pingkal sampai kepalanya menyentuh pangkuannya. Rasulullah saw, bertanya, “Kamu senang dengan doaku tadi?” Aisyah menjawab, “Bagaimana aku tidak senang dengan doamu?” Rasulullah saw. berkata, “Demi Allah, itu adalah doaku untuk seluruh umatku di setiap kali shalat.”
Begitulah pola hidup Rasulullah saw. yang selalu ramah dan lembut, penuh cinta dan kasih sayang. Di mana akhlak semacam ini sekarang?
Namun, canda dan tawa yang tidak tepat justru bisa menyulut dendam di hati orang lain dan mematikan kepekaan di hati diri sendiri. Karena itu, canda dan tawa harus dilepaskan pada waktu, situasi, dan kondisi yang tepat. Sebagian orang saleh berpesan, “Sederhanalah dalam bercanda. Terlalu banyak bercanda dapat menghilangkan wibawa dan memancing orang-orang bodoh berbuat tidak sopan kepadamu. Dan, tidak bercanda sama sekali bisa membuat orang lain tidak betah bersamamu.”
“Saya menelusuri hadis-hadis sahih dan hasan yang menyuguhkan berbagai peristiwa yang membuat Rasulullah saw. tertawa agar umat Islam mendapatkan keberkahan dan kebaikan dari hadis tersebut,” tutur penulis. “Saya menemukan banyak hadis yang menyajikan sejumlah tema yang membuat Rasulullah saw. tertawa dan kami pun tertawa bersamanya walaupun dari tempat dan zaman yang saling berjauhan.”