“Untuk menghadirkan kancah permainan (playing field) yang fair bagi kemajemukan kepentingan, semua warga harus taat azas pada konsensus dasar, yakni konstitusi. Demokrasi yang benar harus berjalan di atas rel konstitusi, karenanya lazim disebut demokrasi konstitusional. Bagi masyarakat Muslim, kesetiaan terhadap konstitusi memerlukan usaha untuk mengakhiri mentalitas ‘luar pagar’, dengan cara menemukan kesesuaian antara nilai-nilai substantif keislaman dan nilai-nilai dasar konstitusi.…
Orang-orang Islam diharapkan mampu mewujudkan diri dalam sikap hidup kebangsaan yang tidak lagi melihat kesenjangan antara keislaman dan keindonesiaan. Sebagai pendukung dan sumber utama nilai-nilai keindonesiaan, Islam semakin diharapkan tampil dengan tawaran kultural yang produktif dan konstruktif, khususnya dalam pengisian nilai-nilai keindonesaan dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945. Dalam semangat itulah kami melakukan syarah terhadap UUD 1945 menurut perspektif nilai dan ajaran keislaman. Dengan syarah ini ditunjukkan bahwa nilai dan aturan dasar konstitusi tidaklah bertentangan, sebaliknya justru sejalan dengan substansi nilai keislaman. Oleh sebab itu, tantangannya bukanlah bagaimana memperjuangkan formalisasi negara Islam, melainkan bagaimana merealisasikan nilai dan aturan konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara adil, jujur, dan konsekuen.”
—Masdar Farid Mas’udi, dalam Prakata
“Pemahaman dan pengertian umat beragama terhadap isi Undang-Undang Dasar sangatlah penting untuk mengutuhkan kepribadian setiap warga negara sebagai warga bangsa yang religius. Dalam kehidupan sehari-hari, tak boleh ada pertentangan ataupun usaha mempertentangkan keyakinan keagamaan dengan keterikatan pada hukum negara yang sah dan konstitusional. Karena itu, sangat tepat apabila UUD 1945 dapat dimasyarakatkan di kalangan umat beragama dengan menggunakan bahasa agama yang mereka yakini.”
—Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, Ketua Mahkamah Konstitusi RI 2003–2008